Emotional intelligence by Daniel Goleman

    Beberapa tahun terakhir istilah Emotional Intelligence (EI) lebih sering dibicarakan ketimbang temannya Intelligence Quotient (IQ). Terdapat beberapa artikel yang membicarakan pentingnya IQ dan EI, lebih penting IQ dibanding EI atau sebaliknya. Namun saya rasa sebagian besar masyarakat Indonesia lebih mengenal IQ, tidak sedikit pula yang berpikir ini sebagai satu-satunya parameter kecerdasan, yang lebih muram lagi masih banyak yang berpikir kesuksesan hidup hanya ditentukan oleh IQ . Sad but true.
     Namun nyatanya berapa banyak dari kita yang membuat suatu keputusan/tindakan based on our emotion, our feeling, or at least logika kita digerakan oleh kedua hal itu. Some people think women use more feeling than logical thinking when they act. Ini tidak seluruhnya salah, beberapa penelitian menyebutkan kalau amigdala wanita lebih responsif ketimbang pria. Amigdala ini gudangnya emosi, tiap manusia punya, mau pria atau wanita. Ada beberapa kisah tentang orang-orang yang mengalami disfungsi amigdala, mereka jadi ga peka. Mereka gabisa ngerasain yang namanya emosi, entah takut, senang, apalagi galau. Hidup hampa buat mereka, ga kebayang kan. Makanya kalau kalian lagi sedih-sedih abis putus cinta, jangan pernah deh ngarep minta amigdala kalian dicabut, mungkin sedihnya ilang, mungkin besok ketemu mantan udah b aja, tapi tanpa emosi hidup hambar bos. So, syukuri tiap kesedihan apalagi kesenangan yang ada dihidup kita, karena sesungguhnya itu bagian dari warna lukisan hidup. Oke stop ngawur ngidulnya.
     Dalam buku ini Goleman tidak ujug-ujug bilang kalau EI lebih penting ketimbang IQ, melainkan memberikan data-data berupa beberapa riset dampak dari EI terhadap kehidupan manusia. Yang pada akhirnya terbesit kalau EI bisa mempengaruhi IQ seseorang, loh? Yaiya, kalau lagi marah mana bisa disuruh ngerjain soal matematika kan? Bisa zonk kalau waktu ujian emosi kita lagi kesel atau baper sama pasangan. Goleman menunjukan bahwa kurangnya EI bisa menjadi faktor bermasalahnya rumah tangga, merusak karir, hingga buruknya kesehatan jasmani.
Dibuku ini juga dijelaskan pendapatnya Peter Salovey, seorang ahli psikolog dari Yale membagi EI menjadi 5 wilayah:
  1. Mengenali emosi – kesadaran diri. Mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Maksudnya, jika kita ga kenal dengan perasaan kita saat ini maka kita akan mudah berada dalam kekuasaan emosi/perasaan. Dalam kondisi Ini lah yang bikin orang udah sulit mikir secara rasional. Kalau anda nanti lagi kesel sama pasangan, coba diam sejenak dan refleksi apakah keselnya emang karena kesalahan doi, misal selingkuh, lama ga nraktir, bau mulut. ATAU karena akumulasi kekesalan sebelum2nya, misal sebelumnya abis di marahin bos, kecipratan air dijalan, dikasih banyak kerjaan. Lalu malamnya janjian makan malam bareng pasangan, doi dateng telat 5 menit, marahnya kayak abis ngeliat doi selingkuh, dicipratin air, atau seolah2 muka doi mirip sang bos. Jangan ya
  2. Mengelola emosi – menangani perasaan agar bisa terungkap dengan pas. Hal ini banyak kaitannya dengan cara orang menghibur diri, menghindari stress, dan berperilaku sesuai akal. Ada orang kalau lagi stress makan eskrim (saya 😊), atau jalan2, karaoke, naik gunung, atau sekedar jalan aja cuci mata ditaman. Intinya find a good way to maintain your emotion, not a negative way. Contoh negative? Ngerokok, marah2 ke orang atau diri sendiri, banting piring.
  3. Memotivasi diri sendiri – menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam meraih cita-cita atau target dalam hidup EI penting agar kita bisa memotivasi diri di saat putus asa, menolak rasa cepat puas diri, dan tahan dalam proses pencapaian target. Hidup kadang diatas atau dibawah ya, salah satu rumusan yang saya pernah dapet adalah kalau bisa punya komposisi pergaulan 1/3 orang2 dibawah, 1/3 setara, dan 1/3 diatas. Maksudnya atas setara bawah? Kualitas hidupnya. Dan ini berbeda tiap individu
  4. Mengenali emosi orang lain – empati. Hal ini terkait dengan kecerdasan bersosial/bergaul, mampu membaca kondisi orang-orang sekitar. Kita mungkin gatau betapa pentingnya diri ini untuk temen kita, tapi kita punya sejumlah teman yang sangat penting bagi kita. So at least be kind and use your empathy. Life will be so much better if we use empathy, gausah malu2, pengalaman saya banyak orang yang sebenernya butuh teman ketika sedang dilanda masalah hanya saja mereka malu untuk bilang, curhat ketemen adalah terapi gratis, gaperlu bayar. Kayak kebanyakan di film2 hollywood, depresi dikit sewa konseling. Mahal. Tapi paling ga traktir sih, bukti kalau punya empathy juga hahaha. Seriously.
  5. Membina hubungan – mengelola emosi orang lain, keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang memiliki kecerdasan ini akan memiliki daya tarik bagi orang lain yang berinteraksi dengannya. Pasti pernah kan ketemu lawan bicara yang asik, sampe lupa waktu, tapi ga sedikit yang ngebosenin. Nah ini.

     So, I think this book highly recommended for you that want to improve your EI, or want to learn more about behavior science. Jangan khawatir, dibuku ini banyak disajikan data-data statistik terkait riset yang udah dilakukan. Jadi ga cuma omdo sang penulis. Lagi pula si Goleman ini pernah dapet penghargaan terkait tulisannya tentang EI, So, no omdo at all.




-FF- 😊

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Winner"

My journey - DHL Supply Chain