KRISIS BUDAYA
Diusianya
yang terbilang muda indonesia telah banyak mengalami persoalan.Masih teringat
jelas kenangan pahit yang dialami bangsa ini, sekitar lima belas tahun lalu.
Krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah bangsa ini. Kesemerawutan pemerintahan
semakin menambah derita rakyat kala itu. Terombang ambing dalam kekacauan.
Dengan keadaan seperti itu rakyat tidak tinggal diam. Pada akhirnya REFORMASI
lah dianggap sebagai jalan terbaik.
Seiring berjalannya waktu aspek ekonomi dan pemerintahan
mulai membaik. Masyarakat dan pemerintah mulai berbenah diri. Hal itu terlihat
dari berkembangnya kemajuan ekonomi dan pendidikan di negeri ini. Pembangunan
infrastuktur dilakukan disana-sini. Masyarakat yang bertambah cerdas dan
mandiri. Indonesia mulai terbuka dengan dunia internasional.
Keterbukaan ini menyangkut berbagai aspek kehidupan
seperti ekonomi, sosial, pendidikan, hingga kebudayaan. Keterbukaan itu
diharapkan akan membawa banyak dampak positif. Seperti meningkatnya
perekonomian dan kualitas pendidikan yang semakin mumpuni. Namun, nampaknya hal
ini dibayangi oleh resiko akan hal yang negatif.
Ketika keterbukaan itu semakin tanpa batas, maka kita
cenderung lupa akan jati diri. Selama ini banyak dari kita hanya melihat
kemajuan bangsa ini dari segi perekonomian, pendidikan dan teknologi. Kita
semua berfokus untuk menjadi yang terbaik dalam hal itu. Berambisi kelak akan
menjadi salah satu negara maju. Berbagai cara dilakukan untuk memajukan bangsa
ini. Sebagian besar pendapatan negara digelontorkan demi pembangunan.
Namun, dibalik bertambah majunya bangsa ini, kita lupa
akan jati diri kita. Tidak menyadari bahwa dibalik pesatnya pertumbuhan bangsa
(baca: perekonomian), justru kita sedang mengalami suatu kisis budaya. Jika
diperhatikan kita mulai enggan membahas hal-hal yang berbau budaya. Terutama
kaun muda yang sejatinya akan menjadi penerus bangsa ini. Kaum muda telah
dibutakan oleh kebebasan. Mereka berpacu dengan perkembangan zaman. Budaya
mereka yang terkena imbas westerinisasi mulai meninggalkan budaya sendiri.
Seorang antropolog Prof.Dr. koentjaraningrat menyebutkan bahwa paling sedikit
ada tiga wujud kebudayaan
1.
Sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma dsb.
2.
Sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat
3.
Sebagai benda-benda hasil karya manusia
Dari
uraian diatas, beberapa yang bisa dijadikan contoh adalah ketika diakuinya
salah satu kebudayaan kita oleh negara lain, seperti reog ponorogo, batik dan
angklung. Bayangkan, hal yang sangat penting bagi bangsa ini dapat seenaknya
diakui oleh negara lain.
Kita
tau bahwa reog ponorogo adalah hasil kebudayaan asal jawa timur. Namun, sebelum
diklaim oleh negara lain sangat sedikit dari kita yang mengerti atau setidaknya
mempelajari reog ponorogo, bahkan kaum muda di daerah asal tempat lahirnya
budaya reog ini. Setelah muncul pengklaiman barulah kita merasa ada hal yang
semestinya milik kita namun diakui oleh bangsa lain.
Setelah
pengklaiman itu banyak orang yang menyemarakan reog ponorogo sebagai kebudayaan
kita. Ironisnya, setelah permasalahan ini usai semarak akan salah satu budaya
ini pun hilang tanpa jejak. Tidak ada lagi semarak seperti ketika ratusan
demonstran asal daerah ponorogo ini menyemarakan kepemilikan budayannya didepan
kedubes negara yang telah mengklaim.
Setelah
reog ponorogo, contoh lain adalah pengklaiman alat musik tradisional angklung.
Alat musik asal jawa barat ini terbilang cukup unik, karena hampir tidak ada
alat musik lain yang bermainkan hanya dengan satu nada. Dibalik keunikannya,
bermain alat musik angklung ternyata memiliki nilai filosofis yang mendalam,
yakni persatuan dan kebersamaan. Bermain angklung hanya bisa dilakukan
bersama-sama. Hal ini menggambarkan persatuan indonesia yang dibangun diatas
pluralitas, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Namun, sayangnya lagi-lagi hanya sedikit
masyarakat terutama kaum muda yang tertarik akan hal ini.
Selain
budaya-budaya diatas masih banyak hal yang berkaitan dengan budaya bangsa yang
tengah mengalami suatu krisis. Seperti perilaku ramah tamah dan gotong royong.
Indonesia
selain terkenal akan sumber daya alamnya yang melimpah, juga dikenal oleh
masyarakat internasional akan budaya keramah tamahannya. Sikap ini pula yang
menjadi daya tarik masyarakat mancanegara untuk berkunjung ke negri ini. Bukan
semata-mata karena keindahan alamnya, namun kepuasan dalam berinteraksi dengan masyarakat kita yang membuat nilai
lebih dimata masyarakat mancanegara.
Setelah
keramah tamahan gotong royong juga menjadi ciri khas dari kehidupan masyarakat
kita sejak dahulu. Bukankah kemerdekaan kita diraih dengan kerja sama atau
gotong royong dari para pejuang bangsa ini? Gotong royong merupakan
implementasi dari ideologi kita, yaitu pancasila. Sebuah ideologi yang
hendaknya dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat kita.
Namun,
lagi-lagi sadarkah kita bahwa kita mulai kehilangan kedua perilaku/budaya itu.
Lemahnya semangat membudaya ditengah arus globalisasi, menyebabkan tumbuhnya
budaya baru, seperti sikap individualistis dan hedonisme. Jelas itu bukan
karakter dari masyarakat kita.
Sungguh ironis bahwa kita dihadapkan oleh
permasalahan yang cukup mendasar dengan sedikit dari kita yang menyadarinya.
Mayoritas masyarakat hanya berfokus akan kemajuan dalam konsep perekonomian,
terutama pada masyarakat perkotaan.
Selain
itu pemerintafh dinilai tidak dapat melakukan tindakan preventif, hanya sebatas
kuratif. Akar-akar permasalahan ini hanya menjadi kajian kalangan akademisi
yang terpisah jauh dari realitas masyarakatnya. Paradigma pembangunan belum bergeser
dari ekonomi-industri sentris menjadi pembangunan yang juga berbasiskan budaya
dan moral.
Oleh
sebab itu, haruslah kita sadar bahwa sebagai penerus bangsa ini berarti juga
ikut bertanggung jawab bagi keberlangsungan budaya kita. Globalisasi memang
tidak dapat dihindari, namun teguhlah pada identitas.
Mari kita bersikap membudaya, tidak hanya
mengenal namun juga disikapi. Karena jangan sampai kita menjadi negara maju
yang kehilangan jati diri.
By
Fahmi fadilah
Komentar
Posting Komentar